Skripsi, Karya Ilmiah atau Sampah?
Ketika
ngobrol dengan seorang teman, ia bercerita mengenai kebijakan fakultasnya
tentang skripsi, ia berbicara bahwa ia dilarang menggunakan skripsi lain untuk
literatur review atau tinjauan pustaka. Alasannya sederhana, karena skirpsi itu
buatan mahasiswa S1 dan merupakan karya yang tingkatnya setara.
Memang
terdengar spele, namun ini merupakan singgungan tidak langsung atau bisa jadi
pelecehan secara tidak lansung terhadap karya seorang mahasiswa S1. Tugas yang
menjadi pase terakhir mahasiswa S1 bahkan tak bisa menjadi bahan referensi bagi
mahasiswa S1 lainnya kemudian siapa yang akan mengunakannya sebagai referensi? Mahasiswa
Diplomat atau siswa SMA?.
Sebetulnya,
contoh tersebut juga terjadi di fakultas saya. Pelecehan intelektual dengan
cara merendahkan skripsi terlontar ketika dua orang mahasiswa mengajukan
proposal skripsi. Saat itu kedua mahasiswa dinilai terlalu sulit mengambil
objek serta metodologi yang digunakan. Jadi terkesan para dosen penguji
meremehkan kemampuan mahasiswa.
Menurut
salah satu dosen penguji menyebutkan bahwa skripsi hanya formalitas dan
menurutnya hal yang paling penting ketika kuliah S1 adalah lulus dengan cepat,
karenanya tak usahlah mahasiswa S1 membuat skripsi yang terlalu sulit apalagi
setingkat tesis.
Apa yang
sebenarnya terjadi? Apakah kadar intelektual mahasiswa S1 saat ini sangat
rendah sehingga kepercayaan dosen terhadap mahasiswa S1 sangat kecil sehingga
akhirnya dosen meremehkan atau pesimis dengan karya ilmiah yang dibuat
mahasiswanya sehingga mereka tak mau berharap banyak.
Hal tersebut
sepertinya tak sepenuhnya salah. Ketika berbicara kadar intelektual tentu salah
satu tolak ukurnya adalah karya yang dihasilkan. Dan mungkin banyak kalangan
menilai karya mahasiswa S1 saat ini hanya sebatas skripsi, itu pun tak sedikit
terpaksa karna merupakan syarat kelulusan.
Oleh
karena itu, banyak skripsi yang kemudian
dikerjakan dengan asal-asalan. Asal lulus, asal tak buat ulang skripsi,
karenanya banyak skripsi yang monoton dan hasilnya begitu-begitu saja. Asalkan beda
objek skripsi bisa dikerjakan meskipun hasilnya sudah ketahuan sejak awal. Yang
lebih parah dosen memaklumi hal tersebut.
Atau
mungkin karena sudah banyak yang melakukan seperti itu akhirnya dosen pesimis
dengan mahasiswa. Naumun tak seharusnya dosen mengenalisir seluruh mahasiswa,
karena tak sedikit juga mahasiswa yang skripsinya menjadi referensi bahkan
setara dengan tesis dan desertasi.
Dengan
situasi seperti ini, akhirnya banyak juga yang bertanya bahkan dari kalangan
mahasiswa sendiri mempertanyakan apakah skripsi betul sebuah karya ilmiah yang
dapat dijadikan referensi atau benar hanya sebuah formalitas kelulusan.
Jika
kita akhirnya sepakat dengan alasan kedua, kenapa harus buang-buang biaya atau
buang-buang kertas demi sebuah skripsi. Kita tahu kertas merupakan hasil olahan
kayu dari hutan, dan keadaan hutan kita sangat terancam karena akan menyebabkan
global warming yang akhirnya menimbulkan banyak bencana. Kenapa kita rela
mengorbankan keselamatan umat manusia hanya karena sebuah formalitas :D

