MADA: Sebuah nama yang terbalik



Ketika kita dihadapkan pada pilihan yang menyulitkan kita dituntut untuk menjadi diri sendiri. Mengikuti serta mengidolakan orang lain bukanlah pilihan tepat menjalani hidup. Ketika kamu yakin dengan apa yang kamu pilih, maka disitulah jalan akan terbuka lebar. Dan pilihan itu adalah ‘Menjadi diri sendiri’.

Saat itu sekumpulan orang yang sedang terobsesi dengan kesuksesan, membicaran seorang yang dulu pernah bersama mereka. Orang yang mereka bicarakan bernama Mada, seorang yang lebih memilih untuk hidup dalam pencariannya untuk menemukan kitab Darma. Kitab yang akan membebaskan kesengsaraan umat manusia.

Perbincangan tentang Mada menjadi menarik ketika malam semakin larut. Siapakah Mada? Apakah dia hanya seorang pembohong besar yang berdalih mencari kitab Darma padahal hanya ingin lari dari kenyataan yang pahit, atau seorang idealis yang yakin akan ada kedamaian bagi semua umat manusia.

Namun semakin lama pembicaraan Mada semaikn tidak menarik dan ketika itu pembicaraan menjadi tidak penting ketika sekumpulan orang tersebut membicarakan apa yang jadi obsesinya masing-masing.

Merkeka masing-masing terobsesi dengan Steve Jobs seorang penemu teknologi telepon pintar, ada juga yang mengidolakan Hitler sebagai Misionaris, terobsesi menjadi seorang revolusioner layaknya Gie, menjadi seorang aktor laga seperti Bruce Lee, bahkan ada juga yang terobsesi sebagai pendakwah layaknya mamah Dedeh.

Namun, obrolan mereka tak berhenti sampai disitu. Perbincangan kemudian berpindah dari membanggakan obsesinya serta idolanya masing-masing, akhirnya mereka mulai saling mencemooh satu sama lain, tak ada satupun yang mendukung antar yang lain.

Hingga akhirnya, malam itu menjadi saksi perpisahan mereka. Mereka memutuskan untuk berpisah dan akan mewujudkan apa yang mereka banggakan pada saat itu, hingga nanti jika cita-citanya terwujud mereka akan kembali bertemu untuk kembali membanggakan apa yang telah mereka dapat.

Waktu terus berjalan, berlalu mengikuti angin yang berhembus masing-masing telah berjalan dengan keyakinannya untuk meraih kesuksesan. Namun celakanya, diantara mereka tak ada satupun yang mempersiapkan kegagalan yang akan mereka temui suatu saat nanti. Tak ada satupun mempersiapkan air untung menembus luasnya gurun pasir. Tak ada satupun mempersiapkan makanan ketika berencana akan mendaki Himalaya. Semua yakin tak ada batu terjal dalam perjalannya.

Pada akhirnya tuhan kembali mempertamukan mereka, meski ada diantara mereka yang tak percaya dengan adanya tuhan. Dalam pertemuan itu perbincangan seperti sesaat sebelum mereka berpisah kembali terjadi. Umur merek sudah tak lagi muda, mungkin sebagian hanya tinggal menghitung hari untuk kembali kepada sang pencipta.

Saat itu, pembicaraan menjurus pada cita-cita yang mereka banggakan dulu. Namun untuk sejenak tak ada yang berani untuk memulainya hingga akhirnya salah satu diantara berani untuk memulainya. Namun hingga beberapa menit obrolan berubah menjadi panas, mereka kembali saling memperolok-olok satu dan lainnya, kembali mereka menjelek-jeleknan cita cita mereka yang hingga akhir hayatnya. Sampai akhirnya semuanya hanya bisa menangisi apa yang mereka lakukan selama ini, hanya menjadi sebuah pelajaran hidup bagi manusia yang terlalu terobsesi dengan idola, bahwa kita takan meraih kesenangan hanya dengan meniru orang lain.

Itulah yang saya dapat ketika menonton pertunjukan Teater Syahid saat mementaskan pertunjukan dengan judul MADA: Sebuah nama yang terbalik. Sebuah pertunjukan yang sangat menggambarkan tentang mental pemuda Indonesia saat ini.

Postingan Populer